Thursday, February 24, 2011

Cerita Kehidupan Buddha (18)

18. Lima Petapa

Setelah memutuskan, Sang Buddha bertekad untuk memelihara kehidupan jasmaniNya hingga AjaranNya telah kokoh, dengan empat kelompok Buddhis (yaitu, Bhikkhu, Bhikkhuni, umat awam laki-laki dan perempuan) mantap dalam Dhamma. Sekarang ketika merenungkan orang yang akan memperoleh manfaat dari ajaranNya pertama kali, Beliau teringat kedua petapa, Alara dn Uddaka, yang mana pada mereka Beliau pernah menetap dan belajar. Tetapi melalui mata batin Beliau mengetahui bahwa mereka telah meninggal dunia. Kemudian Beliau teringat pda Lima Petapa yang melayaniNya sewaktu Beliau sedang melakukan praktik pertapaan menyiksa-diri tetapi kemudian meninggalkanNya setelah Beliau mengehentikan praktik itu. Dengan cara yang sama Beliau mengetahui bahwa pada saat itu mereka menetap di taman rusa Isipatana, di Kota Benares. Kemudian Beliau meninggalkan Uruvela, pergi menuju taman rusa. Di sini para komentator mencatat bahwa Sang Buddha meninggalkan Uruvela di pagi hari tanggal ke empat belas, bulan ke delapan lunar, sehari sebelum periode tiga bulan masa vassa. Dikatakan bawah Beliau tiba di sore hari menjelang malam pada hari yang sama. Akan tetapi, menurut peta, jarak antara Uruvelà, yang sekarang dikenal sebagai Buddhagaya, dan taman rusa Isipatana, sekarang disebut Sarnath, adalah lebih dari seratus mil. Akan tetapi Kanon pali, tidak menyebutkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh Sang Buddha dalam perjalanan itu, hanya ada jalan-jalan yang Beliau lalui berturut-turut (melewati berbagai lokasi dalam perjalanan itu).

Sehubungan dengan Lima Petapa, mereka bernama Kondanna, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji, yang pertama adalah pemimpin bagi yang lainnya. Dikatakan bahwa ia adalah satu dari 108 brahmana yang diundang untuk memberikan ramalan atas kehidupan Bayi Siddhattha ketika Beliau berusia lima hari. Para brahmana lain meramalkan dua kemungkinan bagi bayi kerajaan: menjadi Raja Dunia atau Guru Religius Dunia. Ini tergantung pada apakah Beliau lebih menyukai kehidupan sekular atau monastik. Brahmana Kondanna, yang termuda dari semuanya, meramalkan dengan penuh keyakinan bahwa sang bayi pasti memilih kehidupan religius dan karenanya akan menjadi Guru Religius Dunia. Adalah karena keyakinan ini maka Brahmana Kondanna selalu mendengarkan dengan penuh harap mengenai segala sesuatu yang terjadi pada sang bayi kerajaan. Setelah mengetahui bahwa Pangeran Siddhattha telah meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan religius, ia menjadi lebih yakin dan karena itu ia mengajak 4 brahmana lain – yang semuanya adalah putera dari para brahmana yang meramalkan takdir bayi Siddhattha – agar menyertainya mengikuti teladan Sang Pangeran. Adalah ketika petapa kerajaan itu menjalankan praktik penyiksaan diri yang sangat mereka yakini, maka mereka datang melayaniNya dengan penuh kesetiaan. Dengan harapan bahwa ketika ia mencapai penerangan sempurna melalui cara itu, Beliau akan mengajarkan kepada mereka apa yang Beliau temukan. Tetapi mereka merasa cemas, melihat sang petapa kerajaan meninggalkan praktik penyiksaan diri, yang bagi mereka adalah jalan satu-satunya untuk mencapai penerangan sempuana. Tentu saja mereka menganggap hal ini sebagai tindakan kembali kepada kenikmatan dank arena itu, setelah kehilangan keyakinan pada sang pangeran-petapa, mereka meninggalkanNya dan pergi menuju ke taman rusa Isipatana.

Pada hari bersejarah itu, melihat Sang Buddha datang dari kejauhan, mereka sepakat untuk tidak memberi hormat kepadaNya. Akan tetapi, sebagai bentuk penghormatan sebelumnya, mereka menyediakan sebuah tempat duduk sehingga Beliau dapat menutuskan sendiri apakah akan menerimanya atau tidak. Tetapi ketika Beliau tiba mereka lupa akan kesepakatan mereka dan bangkit dan bersujud kepada Beliau seperti yang biasa mereka lakukan sebelumnya. Mereka membasih kaki Beliau dengan air, menyediakan bangku agar Beliau dapat meletakkan kakiNya dan juga menyediakan sepotong kain untuk menggosok kakiNya. Sang Buddha duduk di sana dan, setelah mencuci kakiNya, mengeringkannya dengan kain yang telah disediakan. Sekarang kelima Petapa, masih belum yakin, menyapa Beliau dengan kata ‘Avuso’, yang diucapkan pada orang dengan derajat yang sama, bukan kepada orang yang lebih mulia. Di sini Sang Buddha menghentikan mereka, mengatakan bahwa Beliau datang untuk membabarkan Dhamma Keabadian kepada mereka. Jika mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan hidup di dalamnya dengan tekun, maka mereka akan memperoleh berkah padamnya penderitaan yang mereka cari. Mereka menolak untuk percaya, memperdebatkan bahwa bahkan selagi mempraktikkan penyiksaan-diri Beliau telah gagal dalam usahaNya. Bagaimana mungkin, mereka memperdebatkan, bahwa Beliau yang telah meninggalkan praktik demikian, bias memperoleh pencapaian? Sekali lagi Sang Buddha mengkonfirmasi pencapaianNya dan sekali lagi Kelima Petapa itu tidak mempercayainya. Hal ini berlangsung tiga kali hingga ketika Sang Buddha menyarankan agar mereka mengingat-ingat apakah Beliau pernah berkata seperti itu sebelumnya. Tentu saja, mereka memberikan jawaban negative dan dengan jawaban itu kekerasan mereka berkurang, menjadi lebih lunak dan siap untuk mendengarkan. Mengetahui dengan mata batin bahwa batin mereka siap untuk menerima, Sang Buddha membabarkan kepada mereka apa yang kelak dikenal sebagai Roda Dhamma, atau dalam istilah kitab, Dhammacakkappavattanasutta, Khotbah PertamaNya. Di sini tercatat bahwa khotbah ini dibabarkan pada keesokan harinya, yaitu, sehari setelah Beliau tiba di tempat di mana Kelima Petapa itu menetap. Hari itu adalah hari purnama bulan âsàëha, yang adalah bulan ke delapan Lunar. Kelak dikenal sebagai sehari sebelum masa vassa tiga bulan dan di Thailand ditetapkan sebagai Hari Saïgha, suatu hari penuh berkah ketika muncul di alam manusia yang ke tiga dari Tiga Permata dalam sosok Kondanna, yang sebagai seorang Sotapanna atau seorang Pemasuk-Arus menjadi saksi pertama atas pencerahan Sang Buddha.

=======================================

Khotbah Pertama: Roda Dhamma

Khotbah ini, atau Roda Dhamma seperti umunya disebut, - sesuai nama dalam Pali, dapat dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan pencarian, Apakah yang membuat Sang Buddha puas akan PencerahanNya, Seperti apakah, dan dengan cara apakah Sang Buddha telah mempraktikkan sehingga Beliau terberkahi dengan pencapaian demikian. Oleh karena itu Sutta (khotbah) mengenai pembabaran ini adalah sangat penting dan layak dipelajari dengan mendalam dan terperinci.

Pada bagian pertama Sang Buddha menunjukkan cara-cara praktik yang harus dihindari oleh para bhikkhu atau mereka yang meninggalkan keduniawian, yang bercita-cita untuk mencapai kebosanan yang mengecewakan, lenyapnya kenikmatan dan kemelekatan yaitu Penerangan Sempurna atau Nibbàna. Ini adalah kedua ekstrim pemuasan indria dan penyiksaan-diri, keduanya harus dihindari oleh mereka yang bercita-cita untuk mencapai tujuan yang disebutkan di atas. PenemuanNya, demikianlah Beliau mengatakan kepada Kelima Petapa, adalah antara kedua ekstrim ini, dengan tidak mendekati salah satunya. Ini adalah praktik yang mendukung ‘Mata’ (kebijaksanaan). Pandangan terang, Kedamaian, Pengetahuan Tertinggi, Penerangan Sempurna, NIbbàna (padamnya kekotoran). Ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang terdiri dari Pandangan Benar, Kehendak Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar dan Meditasi Benar.

Pada bagian ke dua Beliau mengajarkan Dhamma kepada Kelima Petapa yang dengannya Beliau menjadi tercerahkan. Ini adalah akibat dari menghindari kedua ekstrim dan menapak apa yang disebut Jalan Tengah. Dhamma itu disebut Empat Kebenaran Mulia. Ini menyiratkan Kebenaran-kebenaran dari orang-orang mulia atau kebenaran-kebenaran yang memuliakan seseorang. Empat Kebenaran itu adalah:

Kebenaran Mulia Pertama tentang Dukkha, biasanya diterjemahkan sebagai Penderitaan. Sewaktu menjelaskan manifestasinya, Sang Buddha menunjukkan fenomena kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratapan, penyakit, dukacita, keputus-asaan, berkumpul dengan yang tidak menyenangkan, berpisah dengan yang menyenangkan atau yang dicintai dan akhirnya, sebagai suatu sintesa, tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Rangkumannya, Kelima kelompok usnur kehidupan yang dilekati adalah (tempat bagi) penderitaan.

Kebenaran Mulia Ke dua tentang Dukkhasamudaya, Sebab Penderitaan. Sutta menunjuk pada Tanha atau keinginan sebagai penyebabnya. Ia menarik seseorang pada penjelmaan kembali atau kelahiran kembali, yang disertai dengan Nandi atau kenikmatan dan dengan keserakahan atau nafsu. Keinginan ini ada tiga jenis, yaitu, Keinginan untuk memiliki obyek-obyek kenikmatan indria, Keinginan untuk menjadi atau menjelma kembali dan Keinginan (pada aspek negative) untuk tidak menelma kembali (sebagai lawan dari jenis ke dua).

Kebenaran Mulia Ke tiga tentang Dukkhanirodha, Padamnya penderitaan. Menurut Sutta, hal ini dimungkinkan dengan cara memuntahkan keinginan dengan tanpa meninggalkan bekas, berpisah dengan, melepaskan dan kebebasan dari Keinginan, tanpa kemelekatan yang tertinggal.

Kebenaran Mulia ke empat tentang Dukkhanirodhagaminipatipada atau, singkatnya, Sang Jalan. Ini adalah apa yang disebut dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan seperti yang telah disebutkan sebelumnya dan telah dijelaskan.

Pada bagian ke tiga, Sang Buddha menjelaskan seperti apakah yang disebut Penerangan Sempurna,. Ini menyiratkan munculnya pengetahuan secara spontan, atau berdasarkan intuisi, terhadap tiga putaran atau tahapan dari masing-masing dari Empat Kebenaran Mulia. Demikianlah Kebijaksanaan spontan atau Kebijaksanaan intuitif mengetahui bahwa

1. (Sehubungan dengan Kebenaran Pertama) ini adalah penderitaan, maka penderitaan ini harus diketahui, dan ini telah diketahui sekarang;
2. (Sehubungan dengan Kebenaran Ke dua) ini adalah sebab penderitaan, maka penyebab ini harus dilenyapkan, dan ini telah dilenyapkan sekarang.
3. (Sehubungan dengan Kebenaran Ke tiga) ini adalah padanya penderitaan, maka padamnya ini harus dicapai, dan ini telah dicapai sekarang.
4. (Sehubungan dengan Kebenaran Ke empat) ini adalah jalan menuju padamnya penderitaan, maka jalan ini harus dikembangkan, dan ini telah dikembangkan sempurna sekarang, yaitu, dalam segala hal.

Ada istilah lain yang merujuk pada pengetahuan demikian, yang bersinonim dengan Pencerahan. Yaitu yang disebut nana atau Pandangan Terang dan melibatkan tiga putaran atau tingkat kehalusan atau kemendalaman yang disebut:

a) Saccanana: Pandangan Terang ke dalam sifat Kebenaran-kebenaran itu sendiri. Ini menyiratkan pengetahuan bagaimana ini adalah penderitaan, ini adalah Penyebabnya, ini adalah Padamnya dan ini adalah Jalan menuju ke sana.
b) Kiccanana: Pandangan Terang ke dalam apa yang harus dilakukan pada masing-masingnya. Demikianlah penderitaan ini harus dikenali atau diketahui; Penyebabnya harus dilenyapkan atau dihilangkan; Padamnya harus dicapai; dan Sang Jalan menuju ke sana harus dikembangkan aatu disempurnakan.
c) Katanana: Pandangan Terang ke dalam apa yang telah dilakukan sehubungan dengan masing-masing dari Empat Kebenaran. Menyiratkan pengetahuan bahwa segala penderitaan telah dikenali atau diketahui, tidak ada yang tersisa dari jenis ini. Sehubungan dengan Kebenaran ke dua, menyiratkan pengetahuan bahwa segala penyebab penderitaan telah dilenyapkan selamanya, tidak ada lagi yang tersisa untuk dilenyapkan lebih jauh lagi. Pada Kebenaran ke tiga, ini merujuk pada pengetahuan bahwa segala lenyapnya penderitaan telah dicapai, tidak ada lagi yang tersisa untuk dicapai lebih jauh lagi. Dan sehubungan dengan kebenaran ke empat, ini menunjukkan Pengetahuan bahwa segala Jalan (yaitu, praktik) yang menuju pada Padamnya telah diikuti, tidak ada lagi yang tersisa untuk dikembangkan lebih jauh lagi.



Source : Artikel Buddhis

Cerita Kehidupan Buddha (17)

17. Pencapaian Ke-Buddhaan Diantara Tiga Alam

Ketika Bodhisatta mencapai Arahatta-Phala segera setelah mencapai Arahatta-Magga, batin-Nya menjadi sangat murni dan Beliau mencapai Pencerahan Sempurna (Sammàsambuddha), pemimpin tertinggi di tiga alam, dengan pencapaian Kemahatahuan (Sabbannuta Nàna) bersama-sama dengan Empat Kebenaran Mulia, Empat Pengetahuan Analitis (Patisambhidà Nàna), Enam Kebijaksanaan Tinggi (Assadhàrana Nàna), yang menjadikan Empat belas Kebijaksanaan seorang Buddha, dan Delapan belas kualitas (âvenika Dhamma), dan Empat Kebijaksanaan Berani (Vesàrajja Nàna). Bersamaan dengan tercapainya Sabbannuta Nàna ( Ke-Maha-Tahu-an ), datanglah fajar. (Penembusan Sabbannuta Nàna ( Ke-Maha-Tahu-an ) berarti tercapainya Kebuddhaan.)



Source : Artikel Buddhis