Monday, October 4, 2010

Doa Dan Penyembahan

Oleh: Dr.G.P. Malalasekera

 

Oang-orang selalu bertanya : “Apakah umat Buddha bersembahyang? Apa yang dilakukan umat Buddha ketika mereka pergi ke kelenteng atau kuil? Dan bagaimanakah pandangan Buddhis terhadap doa/sembahyang?”

 

Doa dan penyembahan yang sebenarnya hanya merupakan salah satu bagian pelengkap dalam berbagai kepercayaan. Di dalam Buddhisme, kata doa mempunyai banyak arti. Di dalam aliran kepercayaan terhadap Ketuhanan, yaitu kepercayaan yang meyakini akan sesuatu yang maha kuasa, kekuatan Tuhan sebagai pencipta bumi beserta segala isinya, berdoa berarti mengutamakan permohonan kepada Tuhan, meminta kepadanya, dengan rendah hati meminta petunjuk/bimbingan dan perlindungan, kesehatan yang baik dan kebahagiaan, dan bahkan pengampunan atas dosa-dosa yang telah diperbuat.

 

Keadaan yang seharusnya berada di luar daripada itu. Kebanyakan umat Buddha tidak mempercayai Tuhan dengan cara demikian, mereka juga tidak mempunyai doa dengan pengertian seperti itu. Umat Buddha percaya akan hukum karma yang menyatakan kebahagian dan ketidakbahagiaan adalah hasil dari perbuatan kita sendiri. Kejayaan dan kesengsaraan diciptakan individu itu sendiri oleh perbuatan, ucapan dan pikirannya sendiri. Hukum karma tidak hanya untuk orang-orang tertentu, tidak ada perantara/wakil dibaliknya, yang memimpin atau mengaturnya. Karena tidak hanya untuk orang-orang tertentu, sehingga tidak menunjukkan belas kasihan/kemurahan hati maupun pengampunan. Kejahatan yang diperbuat hanya dapat ditebus dengan melakukan kebaikan yang mana akan mengatasi pengaruh atau akibat dari perbuatan jahat itu sendiri. Dosa / Karma buuk, dalam pengertian Buddhisme bukanlah suatu pelanggaran atau ketidaktaatan atas kesewenang-wenangan terhadap perintah yang telah ditetapkan Tuhan, yang harus diikuti oleh manusia, tetapi kesalahan ditunjukkan melalui tindakan tubuh, ucapan dan pikiran yang mana dapat mengotori watak/sifat dan menghalangi pertumbuhan kepribadian seseorang.

 

Dengan demikian di dalam Buddhisme tidak dikenal arti kata “doa” yang telah diterima oleh masyarakat pada umumnya. Manusia itu sendiri yang bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri atas kebaikan dan kejahatan, kebahagiaan dan kesengsaraannya, bukan orang lain. Dunia tidak menggantungkan kemajuan atau kejayaan pada perantara/perwakilan tertentu dan tidak ada pencetus atau pembuat gagasan yang berada di luar itu.

 

Apa yang dilakukan seorang Buddhis ketika mengunjungi kuil ? Mereka melakukan banyak hal. Tidak ada hari-hari tertentu untuk mengunjungi kuil, walaupun che-it dan cap go (setiap tanggal 1 & 15 penanggalan lunar) adalah populer bagi kebanyakan orang. Di hari-hari demikian, penganut setia menjalankan 8 (delapan) sila. Di mana, biasanya mereka berpakaian putih, putih melambangkan kesederhanaan, kesucian dan kerendahan hati. Penganut setia akan membawakan bunga, minyak, dupa dan terkadang tepung kayu cendana dan camphor. Di kuil, mereka mencuci tangan dan kaki karena kebersihan tubuh dan pikiran dipuji oleh Buddha. Di kuil ada beberapa tempat-tempat suci atau tempat dimana bisa melakukan persembahan. Tempat suci yang utama dinamakan Vihara yang artinya tempat berdiam.

 

Kata Vihara semula ditujukan pada tempat kediaman Sang Buddha. Tetapi kemudian, digunakan untuk menunjukkan tempat kediaman para bhikkhu. Pengertiannya dalam hal ini dapat disamakan dengan kata “biara”. Sebuah vihara juga berisi patung-patung Buddha dan disana terdapat sesuatu yang perlu untuk diperhatikan. Bagi orang-orang Buddhis, sebuah patung bukanlah objek penyembahan ; itu hanyalah simbol dan gambaran dari Sang Buddha. Patung hanya berfungsi membantu seseorang mengingat keagungan sifat-sifat baik/kebajikan yang telah dilakukan oleh “Yang Sudah Terang”. Maksud/tujuan penyembahan sama sekali tidak penting, meskipun ada atau tidaknya patung tersebut, tetapi boleh digunakan untuk membantu mengkonsentrasikan pikiran. Di dalam penyembahan terhadap patung, seorang Buddhis tidak seperti seorang pemuja berhala menyembah kayu, tanah liat atau patung. Tuduhan sebagai pemujaan berhala dan terjadinya perlawanan terhadap umat Buddha adalah disebabkan oleh ketidaktahuan atau memang dengan sengaja mengemukakan pernyataan yang keliru.

 

Ada hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan kata Vihara untuk tempat yang berisikan gambaran Buddha. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kata Vihara berarti sebuah tempat tinggal ; dengan demikian, bagi orang Buddhis, Vihara adalah tempat dimana Buddha tinggal tidak hanya di masa lalu, tetapi juga untuk saat ini. Pemujaan kepada Buddha tidak ditujukan untuk seseorang yang sudah tiada tetapi untuk seseorang yang hidup dalam 2 masa (masa zaman Sang Buddha & masa sekarang) dan untuk masa sebelum Dia. Ini tidak berarti orang Buddhis percaya bahwa Sang Buddha yang sudah parinibbana secara duniawi di Kusinara, pada masa hidupnya, yang berada di beberapa tempat-tempat tertentu, dan yang membawa serta makna-makna dari hidup. Tetapi bagi orang Buddhis, penghormatannya kepada Buddha seperti mengingatkan dirinya akan kehadiran Guru yang hidup, sehingga tindakan penyembahannya adalah bersifat hidup dan berarti.

 

Sang Buddha telah tiada, namun pengaruhnya masih bertahan hingga sekarang, meliputi seluruh dunia seperti wangi-wangian yang harumnya masih terus-menerus tertinggal meskipun materialnya sudah tidak ada. Orang-orang Buddhis merasa mereka membawa persembahannya untuk seseorang yang masih benar-benar hidup. Untuk itu, Buddha-Dhamma masih terasa begitu hidup dan kepribadian-Nya masih segar bersinar dalam ingatan. Ini menjelaskan mengapa beberapa orang mempersembahkan makanan dan minuman di tempat-tempat suci. Demikianlah persembahan hanya merupakan simbolis kekuatan atas keyakinan dan ketaatan mereka; tidak ada yang percaya, bukan hanya kebanyakan penganut yang tidak tahu, bahwa Buddha benar-benar ikut mengambil makanan dan minuman itu. Ini adalah cara orang-orang Buddhis mengutarakan bentuk idealisnya, konsep kita tentang Buddha sebagai sebuah pengaruh yang tetap tinggal dalam kehidupan sehari-hari kita.

 

Mempersembahkan bunga dan dupa adalah sebuah bentuk penyembahan, penghormatan, pemujaan dan ucapan rasa syukur, persembahan tidak mempunyai nilai yang hakiki. Seperti kita mempersembahkan sekuntum bunga kepada seseorang untuk menunjukkan rasa hormat, kasih sayang dan terima kasih. Persembahan bunga dan dupa diikuti ungkapan berupa bait-bait (syair-syair) yang mengingatkan seseorang akan sifat-sifat mulia dari Sang Buddha.

 

Sebagaimana Almarhum Ven Nanamoli menguraikan : “Sesungguhnya Buddha adalah Yang Diberkati, yang telah melenyapkan/mengakhiri segala kesedihan dan penderitaan, Yang Sempurna, yang pantas mendapatkan penghormatan, yang telah mencapai kebijaksanaan tertinggi dan penerangan sempurna, yang menjelaskan pengetahuan yang benar dan sila yang benar, yang menemukan kedamaian dan kebahagiaan, yang menyadari kebenaran tentang dunia ini, sebagai pembimbing yang tiada taranya dan teman bagi yang meminta petunjuk-Nya, guru para dewa dan manusia.”

 

Seakan-akan diberitahukan bahwa di sini tidak ada permohonan pertolongan dan perlindungan, akan tetapi merupakan hasil ingatan dan kualitas latihan yang amat besar dari seorang manusia yang menurut umat Buddha adalah manusia yang paling luar biasa yang pernah hidup di dunia ini.

 

Diikuti oleh bait-bait (syair-syair) lain, umat menyatakan bahwa dia menerima Buddha sebagai gurunya dan pembimbing sepanjang hidupnya dan dengan kebajikannya, maka kebahagiaan akan datang padanya. Ini adalah pernyataan tegas atas keyakinannya terhadap Buddha dan penerimaan jalan hidupnya sebagai pengorbanannya. Meskipun lebih penting mengucapkan ketetapan hati untuk mencapai kedamaian Nibbana seperti yang telah dicapai Sang Buddha melalui praktek kebajikan dan perolehan kebijaksanaan. Umat diingatkan bahwa selama kelahiran-Nya yang berturut-turut, dalam jangka waktu yang lama, Sang Buddha (kemudian dikenal sebagai Bodhisattva atau calon Buddha yang sedang menyempurnakan diri untuk mencapai pencerahan) melatih kualitas-kualitas yang menuntun ke arah penyempurnaan dan penerangan sempurna. Di dalam pelatihan ini, Bodhisattva atau yang akan menjadi Buddha mempertimbangkan untuk tidak berusaha terlalu keras, sehingga tidak ada pengorbanan yang terlalu besar. Tidak hanya di satu kelahiran tetapi banyak kelahiran Dia telah mengorbankan hidupNya untuk prinsip-prinsip yang dipegang-Nya dalam melayani yang lain.

 

Semua manusia bisa menjadi Buddha, jika mereka mempunyai ketetapan hati yang dibutuhkan dan hendak mengikuti jalan ke-Buddha-an. Buddha tidak mencapai kejayaan/kebesaran, yang mana tidak bisa dicapai oleh yang lainnya. Jalan hidup yang dinyatakan Sang Buddha dinamakan Dhamma dan umat merasa terpanggil melalui syair, kualitas-kualitas dan penonjolan karakteristik/sifat khas pengajaran-Nya. Jadi Buddha Dhamma dikatakan: “Sudah dinyatakan dengan jelas, tidak ada misteri atau yang tersembunyi tetapi terbuka dan jelas seperti membuka telapak tangan, kemanjurannya jelas dan nyata serta dapat dibuktikan, kekal dan melampaui batas waktu, berpegang pada kebaikan sepanjang masa dan di semua tempat, yang mengundang tantangan bagi penyelidikan dan penelitian, disebabkan tidak ada yang tersembunyi, tidak bersandar pada kepercayaan semata, tetapi kepastian/keakuratan, tidak ada yang kabur tetapi nyata dalam tujuan yang ditetapkan. Kebenaran dan kebahagiaan hanya dapat dicapai secara individual dan dengan usaha yang keras, tidak tergantung pada orang lain, walau sekuat apapun dia.”

 

Umat juga terpanggil untuk mengobarkan semangat dan memperbaiki dirinya, dan selalu ada orang-orang yang mempersembahkan diri mereka demi perwujudan/realisasi penuh dari Dhamma, untuk mencapai pembebasan dan dengan sungguh-sungguh berjuang demi mencapai cita-cita penyelidikan mereka, yakni pemberantasan terhadap ketamakan, kebencian dan kebodohan. Demikianlah contoh hidup yang baik, “moral yang baik, tulus, tidak cacat tingkah laku, patut dihormati, patut dipandang dan diikuti.” Orang-orang mulia ini dikenal sebagai Sangha atau kumpulan murid-murid Buddha yang membersihkan dunia ini dengan kebaikan dan kesucian hidup mereka, menghindari kejahatan, mengembangkan kebaikan dan mengisi dunia dengan keramah-tamahan, perbuatan baik dan kedamaian. Umat yang memberikan sedekah kepada mereka yang meninggalkan keduniawian berarti sedang mempraktekkan dana atau kemurahan hati. Dalam mengingatkan orang-orang mulia ini untuk kealimannya, mereka mempraktekkan sila yang baik dan untuk pikirannya, mereka memajukan pemikiran-pemikirannya dengan melatih pikiran ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu meditasi atau pengolahan pikiran (bhavana)

 

[ Dikutip dari Gems of Buddhist Wisdom, Publikasi dari Buddhist Missionary Society, Kuala Lumpur, Malaysia ]

Source!!

 

No comments:

Post a Comment