Kompas
Kompas - Jumat, September 11
KOMPAS.com - Delapan tahun berlalu sejak peristiwa serangan teroris pada 11 September 2001 di Amerika Serikat. Untuk pertama kalinya sejak serangan itu, AS menangani isu perang melawan terorisme dengan menekankan nilai tradisional ketimbang kekuatan.
Masih lekat dalam benak, gambar menara kembar World Trade Center di New York terbakar dan mengepulkan asap hitam, sesaat setelah ditabrak dua pesawat komersial yang dibajak teroris. Salah satu sisi gedung Pentagon yang hancur dan pesawat United Airlines penerbangan 93 yang jatuh di Pennsylvania melengkapi gambaran mengerikan di hari itu.
Tragedi itu menuntun pada tragedi lain, yaitu invasi AS ke Irak dan Afganistan, untuk menumpas kelompok Al Qaeda yang dideklarasikan mantan Presiden George W Bush sebagai dalang serangan 11 September 2001 (9/11).
Kini, AS telah bergerak menjauhi era Bush. Kebijakan untuk secara total melarang penyiksaan, janji menutup Penjara Teluk Guantanamo, dan menutup pusat penahanan rahasia Badan Pusat Intelijen AS (CIA) adalah beberapa di antaranya.
Bahkan, istilah ”perang melawan terorisme” pun ditinggalkan. John Brennan, penasihat Presiden Barack Obama, pada Agustus lalu mengkritik istilah itu, yang mengesankan bahwa AS berperang dengan seluruh dunia.
Perlu diakui bahwa Obama melakukan pendekatan yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya dalam menghadapi terorisme. Merangkul dunia Muslim lebih dekat dan memperbaiki citra AS di mata dunia adalah pilar strategi kebijakan luar negeri Obama.
Pendekatan baru itu bukannya tanpa halangan karena justru tentangan datang dari dalam negeri. Kalangan konservatif, dimotori mantan Wakil Presiden Dick Cheney, menuding Obama ”membahayakan keamanan nasional” dengan menghapus sistem antiteror era Bush.
Hari pelayanan
Di dalam negeri, peringatan tahunan tragedi 11 September 2001 diberi nama baru: Hari Pelayanan dan Kenangan Nasional. Secara konkret, peringatan itu dilakukan dengan melayani tetangga dan masyarakat sekitar.
Proyek itu dilakukan di semua 50 negara bagian di AS, mulai dari pembagian makanan, perbaikan rumah, pembersihan lingkungan sekitar, hingga persiapan bencana. Di banyak tempat, para sukarelawan akan mengumpulkan sumbangan, membuat paket kepedulian, dan menulis ucapan terima kasih.
Sekelompok pengendara motor akan napak tilas rute penerbangan United Airlines, yang seharusnya terbang dari New Jersey ke San Fransisco, tetapi jatuh di Pennsylvania. Napak tilas dengan motor itu merupakan bagian dari upaya menggalang dana 250.000 dollar AS untuk membangun tugu peringatan yang lebih permanen di lokasi jatuhnya pesawat.
Tidak ketinggalan, petenis Serbia, Novak Djokovic, turut berbagi kesedihan dan kepedulian dengan korban 9/11. Djokovic mengundang anak-anak korban 9/11 untuk menonton pertandingan AS Terbuka di lapangan Arthur Ashe dari tribune para pemain.
Satu musuh
Di luar segala peringatan di dalam negeri, benarkan ancaman terorisme telah berlalu dari tanah AS dan Barat? Sepanjang delapan tahun ini, Direktur Biro Investigasi Federal AS (FBI) Robert Mueller menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk fokus pada satu musuh: Al Qaeda. Jumlah agen yang ditugaskan untuk kontraterorisme berlipat ganda, dari 2.154 orang menjadi 5.419 orang.
Ribuan anggota kelompok bersenjata tewas atau ditangkap. Surga para teroris dan kamp pelatihan mereka dihancurkan. Pemimpin tertinggi mereka terdesak ke persembunyian. Mereka terpecah menjadi kelompok kecil di Asia, Timur Tengah, dan Afrika.
Pertanyaannya, apakah terpecahnya Al Qaeda membuat AS dan Barat lebih aman? Ataukah justru memperumit upaya untuk melawan terorisme?
Tom Fuentes, mantan Asisten Direktur FBI, mengatakan, di satu sisi benar bahwa AS dan Barat lebih aman karena Al Qaeda tidak lagi memiliki rantai komando seperti pra-9/11. ”Di sisi lain, Al Qaeda menjadi sedemikian terdesentralisasi sehingga lebih sulit dihentikan. Seperti gunung api yang dorman,” katanya.
”Medan perang” utama kini berada di wilayah terpencil dan tak kenal hukum sepanjang perbatasan Pakistan-Afganistan. Dunia tengah mengikuti dari dekat dan menanti hasil dari kebijakan Obama di wilayah itu, terutama setelah Obama menambah pasukan menjadi sekitar 60.000 orang di Afganistan.
Tiga bulan setelah pidato Obama di Mesir tentang babak baru hubungan AS-dunia Muslim yang banyak disorot, dunia Muslim mulai skeptis terhadap tawaran itu.
Merajut kembali hubungan Barat-Islam yang koyak memang menjadi tantangan jangka panjang.
Diplomat kawakan AS, Ryan Crocker, baru-baru ini menulis di Newsweek tentang hikmah yang bisa diambil dari tragedi 11 September 2001. Rakyat Amerika, tulisnya, belum belajar bahwa menceburkan diri dalam situasi keras dan kacau tidak memberi solusi bagi perlawanan terhadap terorisme.
”Arogansi dan pengabaian akibat kekuasaan berlebihan bisa menciptakan narasi baru penghinaan yang menumbuhkan balas dendam berabad-abad dari sekarang,” ujar Crocker. Yang diperlukan adalah ”kesabaran strategis”, sesuatu yang secara tradisional sulit diterima rakyat Amerika. (ap/afp/reuters/bbc/fro)
No comments:
Post a Comment